SPACE IKLAN

PASANG IKLAN disini HUBUNGI ARYO 085694952636

SPACE IKLAN

PASANG IKLAN disini HUBUNGI ARYO 085694952636

SPACE IKLAN

PASANG IKLAN disini HUBUNGI ARYO 085694952636

SPACE IKLAN

PASANG IKLAN disini HUBUNGI 085694952636

SPACE IKLAN

PASANG IKLAN disini HUBUNGI ARYO 085694952636

Senin, 15 Oktober 2012

Berhajilah

Syaikh ‘Utsaimin berkata: Dan makna sabda Nabi 
“Barang siapa yang menunaikan haji, dengan tidak berbicara kotor dan tidak mencaci maka diampuni dosanya seperti bayi yang baru dilahirkan”, apabila seseorang berhaji dan menjauhi apa-apa yang Allah haramkan, berupa rafats yaitu behubungan suami istri, fusuq yaitu menyelisihi ketaatan, dan tidak meninggalkan apa-apa yang Allah wajibkan, serta tidak melakukan apa yang Allah haramkan. Maka apabila dia menyelisihi hal ini berarti dia berbuat fusuq/fasiq. Kesimpulannya, apabila seseorang berhaji, dan tidak berbuat fusuq dan rafats maka ia kembali dari haji dalam kondisi bersih dari dosa. Sebagaimana seseorang keluar dari perut ibunya tanpa membawa dosa, maka orang yang haji dengan memenuhi syarat ini maka dia menjadi bersih dari dosa.(fatawa Ibnu Utsaimin 20/21)

Rasulullah saw bersabda, ''Apabila seorang jemaah haji berangkat menunaikan ibadah haji dengan harta yang halal dan menginjakkan kakinya di kendaraannya, kemudian ia membaca Talbiah: “Labbaik Allahumma Labbaik.'' Maka ada suara (jawaban) dari langit: ''Aku terima panggilanmu dan berbahagialah kamu, karena bekalmu halal, kendaraanmu halal, hajimu mabrur tidak mengandung dosa (ma'zur). Dan, apabila seorang jemaah haji berangkat dengan uang haram dan dia menginjakkan kaki di kendaraannya kemudian dia membaca Talbiah, ''Labbaik Allahumma Labbaik.'' Maka ada suara (jawaban) dari langit: ''Tidak ada Labbaik dan tidak ada kebahagiaan bagimu karena bekalmu haram, kendaraanmu haram, hajimu penuh dosa tidak diterima (tertolak). (HR At-Thabrani
dalam mu’jam al ausath ).

Haji merupakan ibadah yang sangat kompleks karena seseorang yang menunaikannya dituntut untuk menunaikan tiga aspek ibadah sekaligus yaitu ibadah harta, perkataan, dan perbuatan sebagaimana ibadah haji juga membutuhkan kesabaran, kelembutan, kasih sayang, serta jihad jiwa.
Haji juga memiliki banyak manfaat baik duniawi maupun ukhrawi. Diantara manfaat tersebut adalah:
  1. Meluruskan keyakinan/aqidah dan mengesakan Allah dalam peribadatan serta menyatukan barisan kaum   muslimin dengan pendidikan keimanan dan pembersihan jiwa.
  2. Ibadah haji mengajarkan manusia bahwasanya tidak ada kebahagiaan yang hakiki kecuali dengan mengikuti petunjuk Rasulullah saw dan sunnahnya baik dalam keyakinan, perbuatan, dan akhlak. Rasulullah saw bersabda, “ambillah dariku cara menunaikan ibadah haji kalian.”
  3. Haji mengajarkan kepada kita untuk bersikap tengah-tengah dalam segala urusan. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra, Rasulullah saw bersabda kepadaku pada hari Aqabah, “ambillah untukku kerikil, lalu aku memungut kerikil sebesar ujung jari kemudian beliau menggenggamnya dan bersabda, “dengan kerikil seperti inilah hendaknya kalian melempar jamarat.” Kemudian bersabda lagi, “Wahai manusia, jauhilah oleh kalian sikap ekstrim dalam beragama karena sesungguhnya yang telah membinasakan umat-umat sebelum kalian adalah sikap ekstrim (ghuluw) dalam beragama.”
Sikap tengah-tengah merupakan manhaj para nabi dan sahabatnya yang hendaknya diikuti oleh setiap muslim.
Haji merupakan mu’tamar internasional bagi kaum muslimin untuk menjunjung tinggi nilai-nilai perdamaian dan memuliakan kehormatan manusia. Allah swt berfirman: (QS. Al-Hajj: 30). Rasulullah saw juga bersabda dalam khutbah beliau ketika haji wada’, “Sesungguhnya darah, harta, dan kehormatan kalian haram sebagaimana keharaman hari kalian ini di negeri kalian ini dan dibulan ini.”
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah

Selasa, 10 Juli 2012

MARHABAN YA RAMADHAN

Ramadhan nan suci segera tiba, bulan yang sangat istimewa diantara bulan-bulan yang lain, tahukah kamu bahwa dibulan ini semua pintu surga dibuka dan pintu neraka ditutup. Demikian istimewa Allah melipat gandakan semua amal kebaikan. Merugilah orang-orang yang menyia-nyiakannya.

Sebelum datang Ramadhan hendaknya kita saling memaafkan, karena diriwayatkan menjelang Ramadhan Malaikat Jibril berdo'a  diamini Rasulullah dan para Sahabat. Coba kita bayangkan betapa mustajab do'a ini yang berdo'a nya saja Malaikat dan yang mengamininya Rasulullah dan para Sahabat ditambah dilakukan pada hari yang paling baik diantara hari-hari yang lain yaitu hari jum'at, bahkan diamini sebanyak 3 kali oleh Rasulullah tidakkah timbul kekawatiraan pada diri kita, bahwa kita mungkin saja tidak mendapat berkah Ramadhan lewat kemuliaannya. Coba kita perhatikan do'a nya :

"Ya Allah tolong abaikan puasa ummat Muhammad, Apabila sebelum memasuk bulan Ramadhan dia tidak melakukan hal-hal yang berikut :" 
  1. Tidak memohon maaf terlebih dahulu kepada kedua orang tuanya (jika masih ada).
  2. Tidak bermaaf-maafan terlebih dahulu antara kedua suami-istri.
  3. Tidak bermaaf-maafan terlebih dahulu dengan orang-orang sekitar.
Dengan demikian saya atas nama Pribadi dan Keluarga memohon Maaf atas semua kesalahan yang disengaja atau tidak.

MARHABAN YAA RAMADHAN..!!

Rabu, 04 Juli 2012

Nisfu Sya'ban


Nisfu Sya'ban berasal dari kata Nisfu (bahasa Arab) yang berarti separuh atau pertengahan, Sya'ban adalah nama bulan ke-8 dalam kalender Islam. Dengan demikian nisfu sya'ban berarti pertengahan bulan Sya'ban. Pada malam ini biasanya diisi dengan pembacaan Surat Yasin tiga kali berjamaah dengan niat semoga diberi umur panjang, diberi rizki yang banyak dan barokah, serta ditetapkan imannya.
Setelah pembacaan  Surat Yasin biasanya diteruskan dengan salat Awwabin  atau salat Tasbih. Setelah itu biasanya dilanjutkan dengan ceramah agama atau langsung makan-makan.
Peringatan Nisfu Sya'ban tidak hanya dilakukan di Indonesia saja. Al-Azhar sebagai yayasan pendidikan tertua di Mesir bahkan di seluruh dunia selalu memperingati malam yang sangat mulia ini. Hal ini karena diyakini pada malam tersebut Allah akan memberikan keputusan tentang nasib seseorang selama setahun ke depan. Keutamaan malam nisfu Sya'ban diterangkan secara jelas dalam kitab Ihya'Ulumuddin karangan Imam Al-Ghazali.